Minggu, 04 Desember 2011

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, komunikasi adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan. Dengan komunikasi yang baik maka pelaksanaan akan perencanaan yang dibuat menjadi baik pula, dari segi proses maupun hasilnya.
Namun ’komunikasi’ pula yang belakangan ini menjadi sorotan tajam MEDIA. Akhir-akhir ini MEDIA menilai telah terjadi sebuah penurunan komunikasi yang baik antara Kampus dan Mahasiswa yang pada akhirnya memicu masalah yang tak terselesaikan dan berbagai spekulasi yang bermunculan dikalangan mahasiswa.
Hal ini mulai terlihat saat penanganan program kampus dan mahasiswa dalam pembuatan Buku Tabungan dan ATM yang merangkap dengan KTM. Masalah ini dinilai berlarut-larut dan tak kunjung terselesaikan. Ide program tersebut muncul dan diutarakan oleh pihak kampus kepada mahasiswa  pertama kali saat berlangsungnya kajian mahasiswa ’Kuliah Dhuha Manajemen’ awal April lalu. Program tersebut dinilai menarik dan memicu antusias mahasiswa yang hadir saat itu. Dengan segala janji dan keuntungan yang didapatkan oleh mahasiswa dalam program tersebut yang kemudian disusul dengan pemaparan yang jelas dari pihak Bank Syari’ah yang bersangkutan cukup membuat optimis mahasiswa akan terlaksananya program tersebut. Namun pelaksanaan ternyata tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Terhitung dari bulan juni saat pengurusan ATM tersebut dimulai oleh pihak bank hingga awal desember program tersebut terseret-seret tak terhenti pada titik cerah.
Kamis, 1 Desember lalu  MEDIA berhasil mendapatkan keterangan dari pihak kampus mengenai masalah tersebut. Hal utama Yang berhasil tangkap dari percakapan tersebut adalah ketidak jelasan penanggungjawaban dari pihak kampus maupun pihak bank yang menangani program tersebut hingga terselesaikan. Dan beberapa hari setelah itu mulai muncul penjelasan-penjelasan mengenai penyelesaian masalah yang cukup menguras kesabaran mahasiswa itu.
Diwaktu dan tempat yang sama pula MEDIA meminta penjelasan tentang program yang menyangkut semester awal dalam pembuatan seragam dan jas almamater. Dari hasil keterangan yang didapat, perencanaan dan pelaksanaan yang dibuat ternyata juga bernasib sama dengan program pembuatan buku tabungan. Dan pada akhirnya kesabaran mahasiswa harus kembali dikorbankan.
Imbas dari dua kasus diatas yang pada akhirnya munculah berbagai spekulasi dari mahasiswa kepada kampus. Dari hasil keterangan yang didapat, banyak mahasiswa

yang merasa geram bahkan menilai bahwa manajemen kampus dalam menangani program tersebut tidak profesional.
Dari satu sisi mahasiswa sangat berharap terlaksananya program tersebut dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan, namun pada akhirnya mahasiswa harus dipaksa untuk bersabar tanpa penjelasan dari kampus tentang penyelesaiannya. Namun dari sisi lain, pihak kamus sudah berusaha untuk menjalankan program dengan tujuan membuat sebuah hasil yang maksimal dari program yang dibuat namun harus terbentur oleh penanggung jawaban yang tidak jelas dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan.
Sangat dimengerti bahwa dalam posisi ini kampus sebetulnya tidak ingin mengecewakan mahasiswa. MEDIA dapat menyimpulkan bahwa langkah awal yang seharus ditempuh oleh pihak kampus adalah membuat komunikasi yang baik antara pihak kamus dan mahasiswa. Selama ini MEDIA menilai spekulasi-spekulasi yang muncul dikalangan mahasiswa adalah dipicu oleh tidak adanya keterangan yang jelas dari pihak kampus tentang perkembangan dari program-program yang dibuat. Mahasiswa merasa di ’gantungkan’ oleh harapan yang tidak kunjung jelas seperti itu.
 Pada program pembuatan Buku Tabungan saja yang tak terselesaikan hingga memasuki bulan ketujuh ini, september lalu mahasiswa sempat diberi angin segar tentang kedatangan pihak Bank yang mengurus buku tabungan. Dan pada pengurusan itu pula kartu ATM sudah berhasil didapatkan oleh beberapa mahasiswa. Sedangkan entah kenapa buku tabungan justru tidak ikut dibagikan. Dari periode september hingga awal desember itulah mahasiswa secara tidak langsung harus menunggu pembagian buku tabungan tanpa ada kejelasan kapan kepastian penyelesaiannya oleh pihak bank melalui kampus.
Pada periode ’penggantungan’ tersebutlah yang memunculkan berbagai spekulasi mahasiswa yang dikhawatirkan jika mahasiswa terus menerus berada diposisi tersebut akan menurunkan tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap kampus. Dan jika tingkat kepercayaan mahasiswa kepada kampus terus menerus turun hal tersebut dapat ikut menghambat berkembangnya kualitas kampus dan merugikan semua pihak.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut semoga dapat menjadi pelajaran pribadi maupun bersama bagi pihak kampus dan mahasiswa dalam meningkatkan perencanaan yang matang akan program-program yang dibuat dengan tidak mengesampingkan aspek komunikasi yang baik agar terlaksananya program tersebut dan dapat meminimalisir munculnya spekulasi.
Sejatinya aspek komunikasi yang baik adalah salah satu gambaran dari sistem syari’ah yang mengedepankan kejujuran dan musyawarah dalam melaksanakan program dan menyelesaikan masalah. Sehingga semua pihak dapat mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi. Bahkan dengan musyawarah dan komunikasi yang baik tak ayal mahasiswapun bisa ikut memberikan solusi atas penyelesaian permasalahan program-program tersebut.(Sy)
Sabtu Pagi (3/12) MEDIA  berkesempatan ngobrol rileks dengan ketua BEM STEI Al-Ishlah Roma AR Sanjaya yang akrab disapa Bang Roma. Disela-sela kesibukannya setelah selesai mengikuti kajian KEMIS HAMASSA di Masjid Ash-Shobur, Perbincangan menarik muncul ketika MEDIA memulai menanyakan sebuah topik tentang regenerasi BEM STEI Al-Ishlah. Pertanyaan ini dilontarkan MEDIA bukan tanpa sebuah sebab. Tradisi regenerasi organisasi besar seperti BEM adalah sebuah topik pembahasan yang cukup diminati oleh sebagian besar kalangan mahasiswa. Terlebih STEI Al-Ishlah sendiri hingga saat ini belum terlaksana serah terima jabatan pengurus BEM periode yang baru. Hmm... bagaimana dan mengapanya, pada kesempatan tersebut dijelaskan panjang lebar oleh Bang Roma. Selain itu satu hal sangat menarik dan menggelitik rasa penasaran MEDIA saat itu adalah bagamana sih sosok Ketua BEM yang diidam-idamkan oleh Bang Roma untuk menggantikan posisinya kelak?.
Awal MEDIA menanyakan perkembangan BEM dalam merencanakan penggantian kepengurusan. Hal ini ditanyakan karena bagaimana tidak, bau-bau kepengurusan seolah sedikitpun tidak tercium dikalangan mahasiswa. Sebetulnya ada tapi masih dirahasiakan? Atau memang sebetulnya BEM sendiri belum ada persiapan kearah situ?. Dengan jawabannya yang jelas Bang Roma menjelaskan bahwa sebetulnya BEM saat ini sudah mempunyai perencanaan-perencanaan dalam pembentukan kepengurusan BEM yang baru. Hanya saja untuk mengarah kesitu perlu diadakannya sebuah persiapan persiapan yang matang.
”Salah satu langkah awal adalah mencari sosok pemimpin yang baru dengan membuat sebuah wacana Poling mahasiswa dalam mencari Balon (Bakal Calon)” Tambah Mahasiswa yang sedang studi Semester Akhir tersebut.
Langkah awal tersebut rencananya akan bekerja sama dengan MEDIA sendiri dengan tujuan mencari gambaran sosok pemimpin yang sebetulnya diharapkan oleh mahasiswa. Setelah itu dijelaskan pula langkah dari BEM sebelum melangkah kekepengurusan yang baru adalah dengan diadakannya Laporan Penanggung Jawaban Pengurus BEM yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Setelah dua langkah diatas terlalui, tambah Ketua BEM yang terhitung  mulai menjabat April 2010 tersebut adalah diadakannya penyaringan Calon Ketua BEM yang nantinya akan dipilih dan maju dalam bursa pencalonan. Dan untuk melaksanakan proses pemilihan akan diserahkan sebuah amanah dari BEM yang lama ke Tim Formatur yang nantinya terlebih dahulu akan dibentuk.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebetulnya BEM sedang dalam perencanaan yang matang dalam agenda pembentukan kepengurusan yang baru. Hal ini didukung dengan pernyataan bahwa perencanaan tersebut sudah dirembukan sebelumnya oleh semua pengurus BEM yang sedang menjabat.
Dalam kepengurusan tentunya tidak ada yang sempurna, seperti pada kepengurusan BEM yang sedang menjabat. Salah satunya terlihat dari morotnya dari agenda pengalihan kepengurusan yang sebelumnya diagendakan setahun sekali ini meleset dari perencanan.
Saat ditanya apakah hal ini ada unsur kesengajaan atau tidak, Bang Roma menjelaskan bahwa ada unsur ketidaksengajaan dalam hal ini. Namun tidak dapat dipungkiri ada pula sisi kesengajaan pula, hal ini disengajakan dari segi adaptasi sistem yang dibuat. Dapat dimaklumi bahwa kepengurusan BEM ini adalah kepengurusan BEM kedua di STEI Al-Ishlah sehingga dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya perlu perencanaan yang matang dan pengadaptasian. Adapaun hal ini semata-mata ingin membuat sebuah suguhan pemilihan BEM yang lebih berkualitas dan dapat dinikmati oleh semua kalangan mahasiswa dan dapat memunculkan sosok pemimpin yang tepat.
Setelah kenyang menanyakan tentang persiapan regenerasi. MEDIA kini berpindah topik kearah yang sedikit sensitif tentang Sosok Pemimpin BEM yang baru yang sebetulnya diidamkan oleh Bang Roma.
Secara garis besar dipaparkan oleh bang Roma tanpa menggambarkan salah satu pihak yang menunjukan sisi nepotismenya. ”Ketua BEM selanjutnya itu harus lebih baik dari tahun sekarang, kemudian dia harus mampu mengkoordinatori mahasiswa, terutama UKM, terlebih UKM yang ada di STEI Al-Ishlah ini berusia sangat muda dan terbentuk baru-baru ini. Dan yang ditekankan adalah adanya kerjasama yang baik antara BEM dan UKM yang ada seperti MEDIA, HAMASSA, LDK maupun UKM tertua KARMAPALA dalam meningkatkan kualitas program-program yang dibuat setiap UKM tersebut agar dapat berkembang dengan baik.”
Harapan itu memang selalu ada, tapi melihat kenyataanya tentang Sumber Daya Mahasiswa sekarang, MEDIA menanyakan apakah Ketua BEM optimis dapat dapat menemukan sosok pemimpin yang diidamkan tersebut?
Menjawab dengan cukup optimisnya bahwa dari gambaran mahasiswa sekarang sosok pemimpin sebetulnya sudah sangat banyak bermunculan dikalangan mahasiswa. Itulah yang menjadi harapan ketua BEM dengan kepengurusan yang baru agar menjadi kepengurusan yang lebih baik lagi.
Dan pertanyaan akhir MEDIA menuju pada persyaratan-persyaratan tentang Ketua BEM itu sendiri seperti apa ternyata Ketua BEM menolak berkomentar. Hal ini dikarenakan menurutnya, hal-hal mengenai persyaratan dan perencanaan kepengurusan akan ditentukan oleh tim formating yang nantinya akan dibentuk.
Semoga dari perencanaan dan harapan yang begitu besar dari kepengurusan BEM sekarang kepada kepengurusan BEM yang baru dapat tercapai , guna menuju bangkitnya BEM STEI Al-Ishlah.(Sy)

Sabtu, 03 Desember 2011

Sejarah perkembangan studi ekonomi Islam dapat dibagi pada empat pase:

Pase pertama, masa pertumbuhan
Pase kedua, masa keemasan
Pase ketiga, masa kemunduran dan
Pase keempat, masa kesadaran
Masa Pertumbuhan 
Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.
Masa Keemasan 
Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.
Beberapa karya fiqih yang mengetengahkan persoalan ekonomi, antara lain:
Fiqih Mazdhab Maliki:
Al-Mudawwanah al-Kubrto, karya Imam Malik (93-179 H)
Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, karya Imam al-Quirthubi (wafat 671 H)
Al-Syarhu al-Kabir, karya Imam Ahmad al-Dardir (wafat 1201 H)
Fiqih Mazdhab Hanafi:
Ahkam al-Quran, karya Imam Abu Bakar Al-Jassos (wafat 370 H)
Al-Mabsut, karya Imam Syamsuddin al-Syarkhsi (wafat 483 H)
Tuhfah al-Fuqoha, karya Imam Alauddin al-Samarqandu (wafat 540 H)
Bada’i al-Sona’i, karya Imam Alauddin Al-Kasani (wafat 587 H)
Fiqih Mazdhab Syafi’I:
Al-Umm, karya Imam Syafi’I (150-204 H)
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Al-Mawardi (wafat 450 H)
Al-Majmu’, karya Imam An-Nawawi (wafat 657 H)
Al-Asybah Wa al-Nadzoir, karya Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H)
Nihayah al-Muhtaj, karya Syamsuddin al-Romli (wafat 1004 H)
Fiqih Mazdhab Hambali:
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Qodhi Abu Ya’la (wafat 458 H)
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
Al-Fatawa al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H)
A’lamul Muwaqi’in, karya Ibnu qoyim al-Jauziyah (wafat 751 H)
Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.
Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.
Karya-karya Khusus Tentang Ekonomi
Meskipun permasalahan ekonomi telah dibahas secara acak pada buku-buku fiqih, namun pada pase ini terdapat juga karya-karya tentang ekonomi Islam yang membahas secara khusus tentang ekonomi. Karya-karya ini tentunya telah mendahului karya-karya ahli ekonomi Barat saat ini, sebab karya-karya kaum muslimin dalam bidang ini telah ada sejak abad ke 7 M
Karya-karya tersebut antara lain:
Kitab Al-Khoroj, karya Abu Yusuf (wafat 182 H/762 M)
Abu Yusuf adalah seorang qadli (hakim) pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Pada saat iitu Harun al-Rasyid meminta beliau menulis tentang pendapatan negara dalam bentuk khoroj (sejenis pajak), zakat, jizyah dan lainnya untuk dijadikan pegangan hukum negara (semacam KUHP sekarang). Dalam mukaddimahnya, Abu Yusuf menulis: “Telah saya tulis apa yang menjadi permintaan tuan, saya pun telah menjelaskannya secara rinci. Oleh karena itu pelajarilah. Saya telah bekerja keras untuk itu dan saya berharap agar tuan dan kaum muslimin memberi masukan. Hal itu karena semata-mata mengharap ridho Allah serta takut akan azabNya. Bila kitab ini sudah jelas, saya berharap agar tuan tidak memungut pajak dengan cara-cara yang zalim dan berbuat tidak baik terhadap rakyat tuan”.
Kitab Al-Khoroj, karya Imam Yahya al-Qursyi (204 H/774 M)
Kitab Al-Amwal, karya Abu Ubaid bin Salam (wafat 224 H/774 M)
Kitab ini telah banyak ditahkik dan dita’liq (dikomentari) oleh Muhammad Hamid Al-Fahi, salah seorang ulama Al-Azhar. Kitab ini pun termasuk kitab terlengkap dalam membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan harta di Daulah Islamiyah.
Al-Iktisab Fi al-Rizqi, karya Imam Muhammad al-syaibani (wafat 334 H/815 M)
Dan karya-karya lainnya seperti karya Ibnu Kholdun, Al-Maqrizi, Al-Aini dan lain-lain
Di penghujung abad 14 dan 15 M merupakan titik awal bagi adanya aliran keilmiahan dalam bidang ekonomi modern. Bahkan Syaikh Mahmud Syabanah, mantan wakil rektor Al-Azhar menyatakan bahwa kitab “Mukaddimah” karya Ibnu Kholdun yang terbit pada tahun 784 H atau sekitar abad 13 hingga 14 M adalah bentuk karya yang mirip dengan karya Adam Smith. Bahkan dalam karyanya, ibnu Kholdun juga menulis tentang asas-asas dan berkembangnya peradaban, produktifitas sumber-sumber penghasilan, bentu-bentuk kegiatan ekonomi, teori harga, migrasi penduduk dan lain-lain. Sehingga isi kedua karya ini hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi dan lingkungan.
Masa Kemunduran Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.
Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru, khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.
Masa Kesadaran Kembali 
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad 15 H, hubungan antara sebagian masyarakat dengan penerapan syariat Islam yang sahih menjadi renggang. Sebagaimana juga telah terhentinya studi-studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali, bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironis lagi sebagian hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.
Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:
Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain. Langkah ini terlihat dari diadakannya beberapa seminar dan muktamar, antara lain:
Muktamar Internasional tentang fiqih Islam
Pada Muktamar Fiqih Islam pertama yang diadakan di Paris tahun 1951 dibahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, riba dan konsep pemilikan.
Muktamarr Fiqih Islam kedua diadakan di Damaskus pada bulan April 1961. Dalam muktamar tersebut dibahas tentang asuransi dan sistem hisbah (pengawasan) menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam ketiga diadakan di Kairo pada Mei 1967, membahas tentang asuransi sosial (takaful) menurut Islam
Muktamar Fiqih Islam keempat diadakan di Tunis pada bulan Januari 1975, membahas masalah pemalsuan dan monopoli.
Muktamar Fiqih Islam kelima diadakan di Riyadh pada bulan Nopember 1977 membahas tentang sistem pemilikan dan status sosial menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam sedunia, diadakan di Riyadh juga yang diorganisir oleh Universitas Imam Muhammad bin Saud pada tanggal 23 Oktober hingga Nopemebr 1976, membahas tentang perbankan Islam antara teori dan praktek dan pengaruh penerapan ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat.